Gira Nusa – Gunung Agung bukan sekadar gunung berapi tertinggi di Bali. Bagi masyarakat Bali, puncaknya adalah istana para dewa. Ia merupakan pusat orientasi spiritual dan kiblat suci. Setiap elemen kehidupan, ritual, dan arsitektur Bali selalu berpatokan padanya. Gunung ini adalah pilar penyangga langit dan penjaga keseimbangan pulau.
Di balik kemegahannya, tersimpan berbagai kisah spiritual mendalam. Cerita ini terjalin erat dengan Pura Besakih yang agung di lerengnya. Artikel ini akan mengupas tuntas tentang Legenda Gunung Agung, mitos Pura Besakih, gunung suci ini. Kita akan menjelajahi asal-usulnya, mitos yang menyelimutinya, hingga pentingnya menjaga kesucian tempat ini.
Asal-Usul Gunung Agung dalam Mitologi Bali
Keberadaan Gunung Agung tidak dapat dipisahkan dari mitologi Hindu Bali. Kisahnya bukan sekadar cerita geologis tentang formasi gunung. Ini adalah narasi tentang penciptaan Bali sebagai pusat spiritual. Asal-usulnya diyakini berasal dari tanah suci India, dibawa langsung oleh para dewa untuk menyeimbangkan pulau yang dahulu kala tidak stabil.
Puncak Mahameru dari India
Menurut Lontar Tantu Pagelaran, Bali dahulu adalah pulau yang labil. Pulau ini terus berguncang dan tidak memiliki penopang. Para dewa prihatin dengan kondisi ini. Batara Pasupati, manifestasi Dewa Siwa, kemudian memindahkan puncak Gunung Mahameru dari India. Puncak suci itu dibawa ke Bali untuk dijadikan pasak bumi.
Potongan pertama yang diletakkan menjadi Gunung Batur. Potongan utamanya kemudian ditempatkan di timur, menjadi Gunung Agung. Sejak saat itu, pulau Bali menjadi stabil dan tenteram. Gunung Agung pun dianggap sebagai replika Mahameru. Ia menjadi istana para dewa dan pusat energi spiritual di Pulau Dewata hingga kini.
Kisah ini menegaskan status sakral Gunung Agung. Ia bukan hanya formasi alam, melainkan fragmen dari surga. Keberadaannya adalah anugerah ilahi. Oleh karena itu, seluruh kehidupan masyarakat Bali sangat menghormatinya. Gunung ini menjadi penanda arah suci atau kaja, tempat jiwa kembali menuju Sang Pencipta.
Pusat Keseimbangan Spiritual Pulau Dewata
Dalam kosmologi Bali, Gunung Agung adalah Lingga Acalla. Ini berarti poros dunia yang tidak tergoyahkan. Ia menjadi titik temu antara alam manusia (bhuwana alit) dan alam semesta (bhuwana agung). Keseimbangan kedua alam ini sangat bergantung pada kesucian gunung. Gunung ini adalah stana dari Dewa Siwa dalam manifestasinya sebagai Hyang Putranjaya.
Gunung Agung juga dianggap sebagai ayah, sementara Danau Batur sebagai ibu. Keduanya adalah sumber kehidupan bagi masyarakat Bali. Gunung memberikan kesuburan tanah melalui material vulkaniknya. Danau dan sungai yang berhulu darinya menyediakan air untuk pertanian. Harmoni inilah yang menopang kehidupan agraris dan spiritual di Bali.
Also read: Status Gunung Agung Terkini: Aktivitas & Panduan Aman
Pura Besakih: Ibu dari Semua Pura di Kaki Gunung Suci
Di lereng barat daya Gunung Agung, berdiri Pura Besakih. Ini bukan pura tunggal, melainkan kompleks pura terbesar di Bali. Pura ini dijuluki sebagai Ibu Pura atau Mother Temple. Posisinya di lereng gunung bukanlah sebuah kebetulan. Lokasinya dipilih secara cermat untuk menghubungkan manusia dengan para dewa yang bersemayam di puncak.
Kaitan antara Legenda Gunung Agung, mitos Pura Besakih, gunung suci ini sangatlah erat. Pura Besakih menjadi pusat persembahan dari seluruh Bali. Semua upacara besar ditujukan kepada para dewa di Gunung Agung. Pura ini menjadi gerbang utama menuju alam dewata yang sakral dan agung.
Kisah Rsi Markandeya dan Penanaman Panca Dhatu
Pendirian Pura Besakih tidak lepas dari seorang resi suci. Beliau adalah Rsi Markandeya yang berasal dari India. Pada abad ke-8, beliau melakukan perjalanan spiritual ke timur. Beliau tiba di Jawa dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Bali. Saat itu, Bali masih berupa hutan lebat yang dihuni kekuatan gaib.
Upaya pertama Rsi Markandeya untuk membuka hutan gagal total. Banyak pengikutnya yang sakit dan meninggal karena gangguan gaib. Beliau kemudian kembali ke Jawa untuk bersemedi. Dari semedi itu, beliau mendapat petunjuk. Beliau harus melakukan upacara penanaman Panca Dhatu sebelum membuka lahan.
Rsi Markandeya kembali ke Bali dengan persiapan matang. Beliau menanam lima jenis logam mulia di kaki Gunung Agung. Logam itu adalah emas, perak, tembaga, perunggu, dan besi. Ritual ini berhasil menetralisir kekuatan negatif. Di lokasi penanaman itulah Pura Besakih pertama, yaitu Pura Basukian, didirikan dengan selamat.
Struktur Kompleks yang Mencerminkan Alam Semesta
Struktur Pura Besakih sangat kompleks dan penuh makna. Kompleks ini terdiri dari satu pura pusat dan 18 pura pendamping. Pura pusatnya adalah Pura Penataran Agung. Pura ini melambangkan alam semesta. Tangga-tangganya yang menjulang ke atas adalah simbol perjalanan spiritual. Manusia menapaki jalan menuju alam yang lebih tinggi.
Tiga pura utama di kompleks ini merepresentasikan Trimurti, tiga dewa utama Hindu.
- Pura Penataran Agung: Pura terbesar di tengah dengan bendera putih, didedikasikan untuk Dewa Siwa.
- Pura Kiduling Kreteg: Terletak di selatan dengan bendera merah, didedikasikan untuk Dewa Brahma.
- Pura Batu Madeg: Terletak di utara dengan bendera hitam, didedikasikan untuk Dewa Wisnu.
- Pura Penataran Agung: Pura terbesar di tengah dengan bendera putih, didedikasikan untuk Dewa Siwa.
- Pura Kiduling Kreteg: Terletak di selatan dengan bendera merah, didedikasikan untuk Dewa Brahma.
- Pura Batu Madeg: Terletak di utara dengan bendera hitam, didedikasikan untuk Dewa Wisnu.
Tata letak ini bukan hanya arsitektur fisik. Ini adalah representasi makrokosmos dalam skala mikro. Setiap pura pendamping mewakili kerajaan-kerajaan Bali kuno. Ini menunjukkan Pura Besakih sebagai pemersatu seluruh Bali. Semua elemen masyarakat bersatu untuk memuja Tuhan di Gunung Agung.
Also read: Jalur Besakih: Trek Puncak Sejati Gunung Agung
Kisah Spiritual dan Mitos yang Menyelubungi Gunung Agung
Gunung Agung adalah panggung bagi banyak mitologi Bali. Kisah-kisah ini dituturkan dari generasi ke generasi. Mitos ini memperkuat status sakral Gunung Agung. Setiap fenomena alam, seperti letusan atau awan di puncak, seringkali ditafsirkan sebagai pesan dari dunia gaib. Mitos ini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat.
Naga Besukih dan Harta Karun di Kawah
Salah satu mitos yang paling terkenal adalah kisah Naga Besukih. Konon, seekor naga sakti bernama Besukih tinggal di kawah Gunung Agung. Naga ini adalah penjaga harta karun para dewa. Sisiknya terbuat dari emas dan berlian murni. Kisah ini terkait dengan legenda asal-usul Selat Bali yang melibatkan Brahmana Sidi Mantra.
Anak Sidi Mantra yang bernama Manik Angkeran adalah seorang penjudi. Ia terlilit utang besar dan meminta bantuan ayahnya. Sidi Mantra menemuai Naga Besukih untuk meminta sedikit hartanya. Naga setuju dengan syarat Manik Angkeran harus berubah. Namun, Manik Angkeran serakah dan memotong ekor naga untuk mengambil permata di ujungnya.
Naga Besukih murka dan membakar Manik Angkeran hingga menjadi abu. Sidi Mantra memohon agar anaknya dihidupkan kembali. Naga setuju jika ekornya bisa kembali seperti semula. Dengan kesaktiannya, Sidi Mantra menyambung ekor naga. Sebagai konsekuensi, ia membuat garis di tanah yang memisahkan dirinya dari sang anak. Garis itulah yang kini menjadi Selat Bali.
Letusan sebagai Peringatan Para Dewa
Aktivitas vulkanik Gunung Agung memiliki tafsir spiritual yang kuat. Letusan tidak dipandang sebagai bencana alam semata. Masyarakat Bali meyakini letusan adalah wujud kemarahan dewa. Ini bisa menjadi pertanda bahwa dunia sedang tidak seimbang. Manusia telah lalai dalam menjalankan kewajiban agamanya.
Letusan dahsyat pada tahun 1963 adalah contoh nyata. Letusan ini terjadi saat pelaksanaan upacara Eka Dasa Rudra. Ini adalah upacara penyucian alam semesta terbesar setiap 100 tahun. Hebatnya, aliran lava tidak menyentuh kompleks utama Pura Besakih. Peristiwa ini dianggap sebagai keajaiban dan bukti perlindungan ilahi.
Pentingnya Menghormati Adat Istiadat di Gunung Agung
Sebagai tempat paling suci di Bali, ada aturan ketat yang harus dipatuhi. Aturan ini berlaku bagi siapa saja yang mengunjungi kawasan Pura Besakih. Hal ini juga berlaku bagi para pendaki Gunung Agung. Menghormati adat adalah kunci untuk menjaga kesucian tempat ini. Ini juga merupakan bentuk penghormatan kepada budaya lokal.
Pantangan dan Aturan Tidak Tertulis
Ada banyak pantangan yang harus ditaati. Aturan ini bertujuan menjaga kebersihan dan kesucian (niskala) area tersebut. Para pengunjung, terutama wisatawan, diharapkan memahaminya. Ini adalah bagian dari etika kunjungan ke tempat suci manapun di dunia. Sikap hormat akan selalu dihargai oleh masyarakat setempat.
Berikut adalah beberapa aturan penting yang perlu diperhatikan:
- Mengenakan pakaian sopan, seperti sarung dan selendang.
- Wanita yang sedang menstruasi dilarang memasuki area pura.
- Dilarang berkata kasar, mengumpat, atau bertengkar.
- Jangan memanjat bangunan suci atau pelinggih.
- Dilarang membuang sampah sembarangan di seluruh kawasan.
- Mintalah izin sebelum mengambil foto di area tertentu, terutama saat upacara.
- Mengenakan pakaian sopan, seperti sarung dan selendang.
- Wanita yang sedang menstruasi dilarang memasuki area pura.
- Dilarang berkata kasar, mengumpat, atau bertengkar.
- Jangan memanjat bangunan suci atau pelinggih.
- Dilarang membuang sampah sembarangan di seluruh kawasan.
- Mintalah izin sebelum mengambil foto di area tertentu, terutama saat upacara.
Status Sakral Gunung Agung dalam Kehidupan Modern
Meskipun zaman telah modern, status sakral Gunung Agung tidak pernah luntur. Masyarakat Bali terus menjaga tradisi leluhur mereka. Upacara besar masih rutin digelar di Pura Besakih. Pendakian terkadang ditutup untuk umum selama periode upacara. Hal ini dilakukan untuk menjaga kekhusyukan ritual yang sedang berlangsung.
Pentingnya menghormati adat istiadat ini adalah cerminan harmoni. Ini adalah wujud nyata dari konsep Tri Hita Karana. Konsep ini mengajarkan keseimbangan hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan. Menjaga kesucian Gunung Agung berarti menjaga keseimbangan seluruh Bali. Ini adalah tanggung jawab bersama bagi penduduk lokal dan pengunjung.
Kesimpulan
Gunung Agung adalah lebih dari sekadar landmark geografis Bali. Ia adalah pilar spiritual, sumber mitologi, dan pusat orientasi budaya. Kisah penciptaannya sebagai fragmen Mahameru memberinya status ilahi. Pura Besakih di lerengnya berfungsi sebagai jembatan agung antara manusia dan para dewa yang bersemayam di puncaknya.
Mitos seperti Naga Besukih dan makna spiritual di balik letusannya memperkaya narasi budaya. Semua ini menggarisbawahi satu hal penting. Legenda Gunung Agung, mitos Pura Besakih, gunung suci ini adalah entitas yang hidup. Ia harus dihormati, dijaga kesuciannya, dan dipahami dengan kerendahan hati.
Saat kita memandang kemegahannya, ingatlah bahwa kita sedang menatap wajah spiritual Bali. Menghormati adat dan tradisinya adalah cara terbaik untuk mengapresiasi warisan luar biasa ini. Dengan begitu, kita tidak hanya menjadi turis. Kita menjadi tamu yang menghargai tuan rumah beserta seluruh nilai luhurnya.